Dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi yang telah mengalami beberapa kali perubahan terdapat suatu aspek yang berperan dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni aspek penyitaan dan perampasan aset hasil Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan mengenai perampasan aset sudah tercantum di beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan kewenangan kepada Hakim untuk melakukan perampasan aset atas seorang yang meninggal dunia, dimana dengan putusan Pengadilan, Hakim dapat memutuskan perampasan aset-aset yang telah disita.
Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan apabila hasil penyidikan tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata terdapat kerugian negara, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara untuk dilakukan gugatan secara perdata sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara pidana biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya masalah penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100 ayat (1) KUHAP jika terjadi penggabungan perkara perdata dan perkara pidang, maka penggabungan tersebut dengan sendirinya terjadi dalam perneriksaan tingkat banding. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 Tahun 1999 tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses penyidikan atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana diatur datam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang menyebabkan tersangka atau terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne bis in idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana yang bersangkutan sudah kadaluarsa.
Penanganan perkara korupsi tidak selalu harus diselesaikan menggunakan hukum pidana. Dalam keadaan tertentu, suatu perkara korupsi dapat diselesaikan dengan menggunakan mekanisme hukum perdata. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun1999 menyatakan bahwa apabila telah terdapat kerugian negara sedangkan salah satu atau lebih unsur tindakan pidana korupsi tidak cukup bukti maka penyidik dapat menyerahkan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk ditindaklanjuti melalui proses gugatan perdata. Perihal secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara menurut penjelasan Pasal 32 ayat (1) adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) ini terkait dengan kewenangan penyidik sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan alasan:
1. tidak terdapat cukup bukti;
2. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; atau
3. penyidikan dihentikan demi hukum.
Dua alasan lain yang terkait dengan penghentian penyidikan tidak menjadi alasan penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilanjutkan melalui gugatan perdata. Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum terkait dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal hapusnya kewenangan melakukan penuntutan karena tersangka meninggal dunia (Pasal 77) atau karena kadaluarsa penuntutan (Pasal 78). Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak bertujuan menghukum dengan pidana badan saja tetapi juga memiliki tujuan pengembalian aset negara yang dikorupsi. Hal ini terilhat dari ketentuan pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut ganti kerugian. Dalam hal tersangka meninggal dunia, baik pada tingkat penyidikan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan maka upaya pengembalian kerugian negara tidak berhenti. Pengajuan gugatan ditujukan kepada ahli waris tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sldang pengadilan,sedangkan secara nyata telah ada kerugiaan keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Alasan pengajuan gugatan perdata pada umumnya didasarkan pada dua hal yaitu karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan1366 KUHPerd gugatan perdata dapat dilakukan karena perbuatan hukum yang dilakukan secara sengaja atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kelalaian/kealpaan. Pengaturan tentang pengembalian aset juga diatur di dalam Pasal 38 B UU No. 20 Tahun 2001 perihal perampasan harta benda yang diduga berasal dari Tindak pidana korupsi.Perampasan diajukan oleh Penuntut Umum apabila terdakwa tidak dapat membuktikan nama benda yang diperoleh bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Apabila dikemudian hari diketahui terdapat harta benda yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi tetapi belum dirampas untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana atau ahli warisnya. Pengajuan gugatan perdata ini dapat dilakukan dengan menunjuk kuasa untuk mewakili negara. Kuasa yang dimaksud tidak dibatasi hanya pada Jaksa Pengacara Negara tetapi dapat ditunjuk penerima kuasa selain Jaksa Pengacara Negara. Ketentuan Pasal 38 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa:
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat hasta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya."
Gugatan diajukan kepada terpidana atau ahli warisnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan gugatan kepada pihak Iain yang diduga menguasai asset hasil korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Pengajuan gugatan kepada pihak lain yang diduga menguasai harta benda hasil tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal 37A. Ketentuan tersebut mewajibkan kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Hal ini untuk menunjukan bahwa terdapat kemungkinan terdakwa tidak mau menyerahkan harta hasil tindak pidana korupsi dengan cara dialihkuasakan kepada pihak lain. Oleh karena itu gugatan yang diajukan seharusnya memjuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait dengan perampasan harta benda sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001