Sabtu, 10 Oktober 2020

Perbedaan isi uu ketenagakerjaan dan omnibus law

 


Waktu Istirahat dan Cuti

1) Istirahat Mingguan 

Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan: "Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu."

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 79 ayat (2) huruf b tersebut mengalami perubahan di mana aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi: istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

2) Istirahat Panjang

Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing masing satu bulan jika telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama.

Ketentuannya: pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun. Namun dalam RUU Cipta Kerja regulasi terkait hak cuti panjang tersebut tak diatur melainkan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau diatur melalui perjanjian kerja sama yang disepakati.

UPAH

1) Upah satuan hasil dan waktu 

Undang-undang Ketenagakerjaan tidak mengatur upah satuan hasil dan waktu. Sementara, dalam RUU Ciptaker, upah satuan hasil dan waktu diatur dalam Pasal 88 B. Dalam ayat (2) pasal 88 B tersebut juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah (pp).

2) Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi, kabupaten/kotamadya, dan sektoral diatur lewat Pasal 89 dan diarahkan pada pencapaian kelayakan hidup.

Dalam pasal tersebut, upah minimum provinsi ditetapkan Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Sedangkan penghitungan komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri.

Namun, Omnibus Law Ciptaker menghapus pasal tersebut dan menggantinya menjadi Pasal 88 C. Dalam pasal pengganti tersebut upah sektoral dihapuskan sedangkan penetapan upah minimum provinsi diatur dan ditetapkan gubernur berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan syarat tertentu.

Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang diatur dalam Pasal 88 C didasarkan pada data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. Sementara, syarat tertentu yang dimaksud meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum tersebut diatur dalam peraturan pemerintah. Yang tak berubah adalah upah minimum kabupaten/kota tetap harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

Di samping itu, Omnibus Law Ciptaker juga mencantumkan pasal baru, yakni Pasal 90 B yang mengecualikan ketentuan upah minimum untuk UMKM. Upah pekerja UMKM diatur berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberian kerja sedangkan tata cara lebih lanjut pengaturan upah pekerja untuk UMKM diatur lebih lanjut lewat pp.

UANG PENGGANTIAN HAK

Dalam UU Ketenagakerjaan, Uang Penggantian Hak diatur dalam pasal 156 ayat (4). Dalam RUU Ciptaker, ketentuan uang penggantian hak yang wajib dibayarkan pengusaha sebagai pesangon karyawan di-PHK berkurang.

Dalam UU Ketenagakerjaan, uang penggantian hak terdiri dari uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; uang pengganti biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana diterima bekerja; dan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

Namun dalam Pasal 156 ayat (4) bagian Ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja, hanya ada dua jenis uang penggantian hak yang diwajibkan kepada pengusaha, yakni uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur serta biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana mereka diterima bekerja.

Di luar itu uang penggantian hak yang wajib diberikan kepada buruh masuk ke dalam kategori "hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

JAMINAN SOSIAL

1) Jaminan Pensiun

UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tak mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka pengusaha dapat terkena sanksi pidana.

Namun RUU Ciptaker menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan tersebut, yakni pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun."

2) Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial. Hal ini tercantum dalam Pasal 82 RUU Cipta Kerja.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan boleh melakukan PHK dengan 9 alasan yang meliputi: perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status perusahaan, pekerja melanggar perjanjian kerja, pekerja melakukan kesalahan berat, pekerja memasuki usia pensiun, pekerja mengundurkan diri, pekerja meninggal dunia, serta pekerja mangkir.

Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambah poin alasan perusahaan boleh melakukan PHK dalam Pasal 154 A.

Beberapa alasan tersebut di antaranya: perusahaan melakukan efisiensi; perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan; dan perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Kemudian, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja; pekerja mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan; pekerja buruh memasuki usia pensiun; dan pekerja meninggal.

STATUS KERJA 

Pasal 56 UU Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Sementara dalam Omnibus Law Ciptaker, ketentuan Pasal 59 itu dihapus.

Dengan penghapusan pasal ini, tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja
kontrak seumur hidup.

JAM KERJA 

Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. Sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja waktu kerja lembur diperpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

TENAGA KERJA ASING

Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Contohnya, dalam UU Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi pengusaha yang ingin mempekerjakan TKA. Sebagai gantinya, pengusaha hanya diwajibkan memiliki rencana penggunaan TKA.



sumber:

  1. cnn indonesia
  2. uu no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan 
  3. rancangan undang-undang cipta kerja 

Jumat, 12 Juni 2020

Penyelesaian tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata




Dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi yang telah mengalami beberapa kali perubahan terdapat suatu aspek yang berperan dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni aspek penyitaan dan perampasan aset hasil Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan mengenai perampasan aset sudah tercantum di beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan kewenangan kepada Hakim untuk melakukan perampasan aset atas seorang yang meninggal dunia, dimana dengan putusan Pengadilan, Hakim dapat memutuskan perampasan aset-aset yang telah disita.

Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan apabila hasil penyidikan tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata terdapat kerugian negara, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara untuk dilakukan gugatan secara perdata sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara pidana biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya masalah penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100 ayat (1) KUHAP jika terjadi penggabungan perkara perdata dan perkara pidang, maka penggabungan tersebut dengan sendirinya terjadi dalam perneriksaan tingkat banding. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 Tahun 1999 tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses penyidikan atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana diatur datam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang menyebabkan tersangka atau terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne bis in idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana yang bersangkutan sudah kadaluarsa.

Penanganan perkara korupsi tidak selalu harus diselesaikan menggunakan hukum pidana. Dalam keadaan tertentu, suatu perkara korupsi dapat diselesaikan dengan menggunakan mekanisme hukum perdata. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun1999 menyatakan bahwa apabila telah terdapat kerugian negara sedangkan salah satu atau lebih unsur tindakan pidana korupsi tidak cukup bukti maka penyidik dapat menyerahkan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk ditindaklanjuti melalui proses gugatan perdata. Perihal secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara menurut penjelasan Pasal 32 ayat (1) adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.


Ketentuan Pasal 32 ayat (1) ini terkait dengan kewenangan penyidik sebagaimana diatur di dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut, penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan alasan:

1. tidak terdapat cukup bukti;

2. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; atau

3. penyidikan dihentikan demi hukum.



Dua alasan lain yang terkait dengan penghentian penyidikan tidak menjadi alasan penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilanjutkan melalui gugatan perdata. Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum terkait dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perihal hapusnya kewenangan melakukan penuntutan karena tersangka meninggal dunia (Pasal 77) atau karena kadaluarsa penuntutan (Pasal 78). Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak bertujuan menghukum dengan pidana badan saja tetapi juga memiliki tujuan pengembalian aset negara yang dikorupsi. Hal ini terilhat dari ketentuan pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut ganti kerugian. Dalam hal tersangka meninggal dunia, baik pada tingkat penyidikan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan maka upaya pengembalian kerugian negara tidak berhenti. Pengajuan gugatan ditujukan kepada ahli waris tersangka pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 31 Tahun 1999.


Pasal 33

Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.


Pasal 34

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sldang pengadilan,sedangkan secara nyata telah ada kerugiaan keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.


Alasan pengajuan gugatan perdata pada umumnya didasarkan pada dua hal yaitu karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan1366 KUHPerd gugatan perdata dapat dilakukan karena perbuatan hukum yang dilakukan secara sengaja atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kelalaian/kealpaan. Pengaturan tentang pengembalian aset juga diatur di dalam Pasal 38 B UU No. 20 Tahun 2001 perihal perampasan harta benda yang diduga berasal dari Tindak pidana korupsi.Perampasan diajukan oleh Penuntut Umum apabila terdakwa tidak dapat membuktikan nama benda yang diperoleh bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Apabila dikemudian hari diketahui terdapat harta benda yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi tetapi belum dirampas untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana atau ahli warisnya. Pengajuan gugatan perdata ini dapat dilakukan dengan menunjuk kuasa untuk mewakili negara. Kuasa yang dimaksud tidak dibatasi hanya pada Jaksa Pengacara Negara tetapi dapat ditunjuk penerima kuasa selain Jaksa Pengacara Negara. Ketentuan Pasal 38 huruf c UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa:


Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat hasta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya."

Gugatan diajukan kepada terpidana atau ahli warisnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan gugatan kepada pihak Iain yang diduga menguasai asset hasil korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Pengajuan gugatan kepada pihak lain yang diduga menguasai harta benda hasil tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal 37A. Ketentuan tersebut mewajibkan kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Hal ini untuk menunjukan bahwa terdapat kemungkinan terdakwa tidak mau menyerahkan harta hasil tindak pidana korupsi dengan cara dialihkuasakan kepada pihak lain. Oleh karena itu gugatan yang diajukan seharusnya memjuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait dengan perampasan harta benda sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001

Jumat, 05 Juni 2020

PEMBUKTIAN PADA TAHAP PENYELIDIKAN

PENGERTIAN
Penyelidikan ialah Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

       Dalam Tata Kelola dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus dikenal adanya istilah Pra Penyelidikan yaitu tindakan-tindakan administrasi sejak diterimanya sumber penyelidikan sampai dengan adanya keputusan terhadap tindak lanjut atas sumber penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.

    Penyelidikan bukan merupakan tahapan yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan bagian atau sub fungsi dari penyidikan. KUHAP tidak mengatur penyelidikan dalam bab tersendiri. Pada BAB XIV mengatur Bab Penyidikan yang terdiri dari Bagian Kesatu Penyelidikan dan Bagian Kedua Penyidikan. Oleh sebab itu kewenangan penyelidik pada Pasal 102 dan Kewenangan penyidik pada Pasal 106 KUHAP adalah sama; yaitu dalam hal penyelidik atau penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan(bagi penyelidik) atau penyidikan (bagi penyidik) yang dianggap perlu. Artinya apabila yang mengetahui atau menerima laporan tentang dugaan terjadi tindak pidana adalah penyelidik maka penyelidik wajib segera melakukan tindakan penyelidikan akan tetapi apabila dari laporan atau temuan sendiri telah diperoleh bukti permulaan yang cukup umpannya dalam operasi tertangkap tangan atau hasil pengembangan suatu perkara pidana maka peristiwa tersebut dapat langsung dilakukan penyidikan tanpa didahului penyelidikan lagi.

        Jadi sarana atau alat yang digunakan penyelidik untuk menentukan apakah peristiwa itu diduga sebagai tindak pidana dan dapat dilakukan penyidikan adalah bukti permulaan.

Menurut Pasal 5 KUHAP; Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang;

a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya suatu tindak pidana.
b. mencari keterangan dan barang bukti.
c. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri.
d. Mengadakan tindakan lain yang bertanggung jawab.


Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

  1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
  2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
  3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
  4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik;
Semua tindakan penyidik tersebut pada a dan b harus dibuat laporan dan berita acara untuk disampaikan kepada penyidik.

     Rentetan kewenangan penyelidik tersebut dalam rangka mencari dan memperoleh bukti permulaan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka jelas bahwa penyelidikan adalah untuk menemukan peristiwa yang diduga mengandung muatan tindak pidana dan dalam rangka untuk menentukan apakah dapat ditingkatkan ke tahap selanjutnya (penyidikan). Untuk menemukan suatu peristiwa pidana sudah barang tentu diperlukan bukti-bukti. Mencari bukti dalam hal ini sesungguhnya adalah mencari alat bukti. Bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh dari alat bukti dan termasuk barang bukti. Oleh karena itu kegiatan penyelidikan adalah juga merupakan kegiatan pembuktian.

    Dalam Putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan“bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.

      Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. “Frasa “bukti permulaan‟, “bukti permulaan yang cukup‟, dan “bukti yang cukup‟dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurangkurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya(in absentia).”

        Berdasarkan hal tersebut diatas maka telah terjadi terjadi pergerasan pemaknaan 2 (dua) alat
bukti yang semula sebagai syarat untuk penghukuman sebagaimana pada Pasal 183 KUHAP,
namun sekarang ditambah menjadi syarat untuk penentuan tersangka. Pasal 183 KUHAP “ Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan”.

JENIS BUKTI PERMULAAN

Adapun bukti permulaan dapat berupa :
  1. Keterangan yang diperoleh dari berbagai pihak yang dituangkan dalam beritaacara pemberian keterangan.
  2. Barang bukti yang mempunyai hubungan dengan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
  3. Informasi elektronik atau surat elektronik sebagaimana dimaksud/menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008, jo Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 44 ayat (2) Undang-undang nomor 30 tahun 2002.
  4. Audit investigasi dari auditor.
  5. Hasil kajian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
  6. Bahan lain untuk kepentingan penyelidikan yang diperoleh dengan syarat;
  • Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
  • Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan yang dilakukannya tindakan jabatan.
  • Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya.
  •  Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.
  • Menghormati hak asasi manusia. (Penjelasan Pasal 5 angka 4 KUHAP)Bukti permulaan yang telah diperoleh kemudian diolah/dianalisis untuk memperoleh sekurang-kurangnya dua bukti permulaan yang saling bersesuaian antara satu dengan yang lain dari persesuaiannya diketahui peristiwa tersebut diduga sebagai tindak pidana dapat dilakukan penyidikan.

FUNGSI BUKTI PERMULAAN
  1. Guna menentukan apakah peristiwa yang diduga suatu tindak pidana dapat dilakukan penyidikan (Pasal 1 angka 5 KUHAP).
  2. Menetapkan seorang sebagai tersangka (Pasal 1 angka 14 KUHAP).
  3. Syarat penangkapan (Pasal 17 KUHAP).

TEKNIK MENENTUKAN DUGAAN TERJADI TINDAK PIDANA
  1. Cari dan kumpulkan bukti permulaan menurut undang-undang.
  2. Analisis bukti permulaan untuk memperoleh fakta yang dapat mendukung unsur tindak pidana yang diduga terjadi.
  3. Kuasai setiap unsur tindak pidana yang diduga terjadi.
  4. Hubungkan antara unsur tindak pidana dan fakta yang diperoleh dari bukti permulaan apakah mendukung atau tidak.
  5. Dari rangkaian tindakan ini penyidik menentukan ada dugaan terjadi tindak pidana dan dapat dilakukan penyidikan.

Kamis, 28 Mei 2020

PRAPERADILAN

A. pengertian praperadilan

Praperadilan adalah proses sebelum pradilan peradilan terdiri dari dua suku kata yaitu kata pradilan dan kata  peradilan. kata pra dalam ilmu bahasa dikenal dengan pemahaman sebelum, sedangkan peradilan adalah proses persidangan untuk mencari keadilan, praperadilan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka terhadap pelanggaran syarat formil maupun materiil yang dilakukan dalam tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam pasal-pasal mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, hak-hak tersangka/terdakwa dan mengenai bantuan hukum. 


Praperadilan merupakan salah satu kewenangan pengadilan dan juga penerapan upaya paksa oleh polisi dan jaksa meliputi :

  1.  Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dapat diajukan oleh penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80 KUHAP).
  2. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan ditingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP).
  3. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat (1) b dan ayat (3) KUHAP).
  4. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan pada perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri (Pasal 95 ayat (2) KUHAP).
  5. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan pada perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri (Pasal 97 ayat (3) KUHAP).


     Praperadilan berdasarkan penjelasan di atas, hanyalah untuk menguji dan menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi.


B. OBJEK PRAPERADILANPeristiwa atau kejadian yang dapat dimintakan pemeriksaan praperadilan adalah :
a. Tentang tidak sahnya penangkapan;
b. Tentang tidak sahnya penahanan;
c. Tentang tidak sahnya penghentian penyidikan;
d. Tentang tidak sahnya penghentian penuntutan;
e. Tentang tidak sahnya penyitaan bendatertentu;
f. Tentang ganti kerugian;
g. Tentang rehabilitasi.


C. SUBJEK PRAPERADILANYang dapat mengaj ukan praperadilan adalah :

  1. Dalam hal tidak sahnya suatu penangkapan dan/atau penahanan, diajukan oleh tersangkaatau keluarga tersangka atau oleh kuasanya;
  2. Dalam hal tidak sahnya penghentian penyidikan, diajukan oleh penuntut umum ataupihak ketiga yang berkepentingan;
  3. Dalam hal tidak sahnya penghentian permintaan, diajukan oleh penyidik atau pihakketiga yang berkepentingan;
  4. Dalam hal tidak sahnya penyitaan, diajukan oleh tersangka atau keluarganya atau pihakketiga yang berkepentingan;
  5. Dalam hal ganti mgi dan rehabilitasi, diajukan oleh tersangka atau keluarganya ataupihak ketiga yang berkepentingan.
  6. Putusan Mahkamah Konstitusi RI, Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 16 Maret 2015,dengan amar putusan

           - Prasa “bukti permulaan” dan “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”harus dimaknai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184KUHAP.

            -Pasal 77a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.


D. ACARA PEMERIKSAAN PRAPERADILAN


  1. Permintaan diajukan kepada pengadilan negeri yang berwenang mengadili, yaitu dalam daerah hukumnya termohon bertempat tinggal atau instansi termohon berada;
  2. Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal dan seorang panitera yang telah menetapkanhari sidang tiga hari setelah ia ditunjuk;
  3. Selama pemeriksaan berlangsung hakim mendapat keterangan dari pemohon, tersangka,pejabat yang terkait dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara;


E. PUTUSAN PRAPERADILAN


  1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa penangkapan atau penahanan tidak sah, maka tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan;
  2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah maka penyidikan atau penuntutan Wajib segera dilakukan;
  3. Dalam hal putuan menetapkan penyitaan terhadap benda tertentu tidak sah, maka benda tersebut harus segera dikembalikan kepada dari siapa benda itu disita;
  4. putusan yang menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi;
  5. Apabila putusan menetapkan penghentian penyidikan atau penuntutan sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasi, kalau tersangka ditahan selain rehabilitasi juga dicantumkan jumlah besamya ganti kerugian;
  6. Putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali terhadap putusan yang menetapkan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah dapat dimintakan putusan akhir kepada pengadilan tinggi.  

F. GUGURNYA PERMINTAAN PRAPERADILAN

Apabila perkara pokoknya yang dimintakan praperadilan sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri sementara pemeriksaan mengenai pennintaan praperadilan belum selesai
atau belum diputus, maka permintaan praperadilan tersebut gugur demi hukum. Inilah Salah
satu pertimbangan mengapa hakim tidak dapat di praperadilankan

Senin, 25 Mei 2020

Konsep negara hukum




Hukum, apa sebenarnya yang terbenak di pikiran saudara saudara tentang hukum, mungkin pertama terlintas dipikiran saudara saudara hukum itu tidak memberikan rasa adil memuakan bukan?? Secara garis besarnya hukum itu ialah sebuah aturan yang memaksa jika dilanggar terkena sanksi pidana dan tujuan hukum ada 3 yaitu:
1. Kepastian hukum
2. ‎keadilan hukum
3. ‎kemanfataan hukum
      Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tapi kadang kala ada oknum yang tidak bisa secara seimbang menerapkan tujuan hukum tersebut kita ambil contoh dimana seorang nenek dikenakan hukuman penjara 2,5 tahun apabila tidak membayar denda sebesar 1 juta rupiah Dia mencuri karna kelaparan bukan untuk memperkaya diri tapi hukum tetap berpatokan patokan aturan atau undang-undang sedangkan para pejabat bermental perampok yang kerap kali mengambil uang rakyat hanya dihukum 1 tahun mereka merampok uang rakyat bermilyar-milyar??  Bukan kah yang membuat para rakyat sengsara dengan cara mencuri adalah mereka?? Yang dimana mereka kerap kali merampok Bantuan dana sosial dimana keadilan hukum bagi masyarakat kecil?? Itu lah hukum masih tajam kebawah tumpul keatas bukan kah ada asas equality before the law yang artinya asas persamaan didepan hukum
     Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Negara Indonesia juga menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat. Dengan demikian sudah sewajarnya penegakan keadilan berdasarkan hukum dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiappenyelenggara negara setiap lembaga masyarakat termasuk kalangan militer.
    Menurut Montesquieu, negara yang paling baik adalah negara hukum sebab dalam konstitusi di banyak negara hukum terkandung tiga inti pokok, yaitu :
1. Perlindungan HAM
2. ‎ditetapkannya kenegaraan suatu negara,  dan
3. ‎membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara
    Selanjutnya konsep negara hukum rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey (ilmuwan dari Inggris), menetapkan tiga tolok ukur atau unsur utama, yaitu :
1. Suprimasi hukum (supremacy of law),
2. Persamaa dihadapan hukum (equality of law),
3. Konstitusi yang didasarkan atas Hak Asasi Manusia (HAM).
     Dari ulasan yang mengutip pendapat beberapa ahli hukum diatas, jelaslah bahwa adanya hak asasi manusia adalah salah satu ciri dari Negara Hukum. Hak asasi manusia merupakan unsur yang sangat penting dan harus termuat secara tegas dalam penyelenggaraan negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law.
     Negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi disebut sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat). Negara hukum yang demokratis lahir dari perkembangan sejarah rechtsstaat di negeri Belanda, yang semula berbentuk rechtsstaat klasik (liberaal democratische rechtsstaat) berkembang menjadi rechtsstaat modern (sociale democratische rechtsstaat), dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya yang mengiringinya
Terimah kasih... 

perbedaan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (PMH)


I.  WANPRESTASI

     Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau rusak janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena mereka tidak melaksanakan apa yang telah disepakati atau bahkan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie”, yang berarti bahwa itu tidak memenuhi pencapaian atau kewajiban

Berikut definisi wanprestasi menurut beberapa penulis

•    Menurut Harahap (1986), wanprestasi adalah sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.


•    ‎Menurut Prodjodikoro (2000), wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.


•   Menurut J Satrio (Satrio : 1999, hal 122), wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya

Sedangkan ‎wanprestasi menurut kitab undang-undang hukum perdata diatur dalam pasal 1243 berbunyi "Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan"

Bentuk dan Syarat Wanprestasi

Menurut Satrio (1999), terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:

1.   Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. ‎   Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. ‎   Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk dan syarat tertentu hingga terpenuhinya wanprestasi adalah sebagai berikut (Ibrahim, 2004):

1.   Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. ‎  Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. ‎   Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. ‎    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

     Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa wanprestasi adalah keadaan di mana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati

II.  PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)

I.    Pengertian Perbuatan melawan hukum
     

    adalah segala perbuatan yang menimbulkan kerugian yang membuat korbannya dapat melakukan tuntutan terhadap orang yang melakukan perbuatan tersebut. Kerugian yang ditimbulkan dapat bersifat material (misalnya kerugian akibat tabrakan mobil) ataupun imaterial (misalnya kecemasan atau penyakit). Melalui tuntutan ini, korban berupaya untuk mendapatkan pemulihan secara perdata, misalnya dengan mendapatkan ganti rugi.

PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut ”.

      Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat

     Menurut salah satu ahli hukum terkemuka asal Belanda, perbuatan melawan hukum yaitu “delict” adalah “elke eenzijdige evenwichtsverstoring, elke eenzijdige inbreak op de materiele en immateriele levensgoerden van een persoon of een, een eenheid vormende, veelheid van persoon/een groop” ( tiap-tiap gangguan dari keseimbangan,
tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan kerohanian dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang-orang).

    Perbuatan melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam lalu lintas
masyarakat. Perbuatan melawan hukum juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur prilaku berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu
gugatan yang tepat.

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terdiri dari 4 unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH):

1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum

Dikatakan PMH, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU, tetapi juga jika berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut:

• Bertentangan dengan hak orang lain;
• Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;
• Bertentangan dengan kesusilaan;
• Bertentangan dengan keharusan (kehati-hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

2. Adanya unsur kesalahan

Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.

3. Adanya kerugian

Yaitu kerugian yang timbul karena PMH. Tiap PMH tidak hanya dapat mengakibatkan kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau imateril, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

4. Adanya hubungan sebab akibat

Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.‬

II.   Unsur-Unsur Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

     Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum Pasal 1365 dan Pasal 1370, maka dalam melakukan gugatan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 


a. Adanya suatu perbuatan, yaitu Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh
perbuatan si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (secara aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal ia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari kontrak). Karena itu
terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata
sepakat dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagai mana yang
terdapat dalam kontrak.

b. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak
subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang.

c. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara :

1) Objektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan akan timbulnya akibat dan
kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat.

    Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :

1) Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya
kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah
atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan
kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan
sengaja.

2) Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan
karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang
bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk
keseluruhannya.

d. Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa :

1) Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang
nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus
mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita,
juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.

2) Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan
kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan
kesenangan hidup.

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum sebagai berikut

1. Adanya suatu perbuatan;
2. ‎Perbuatan tersebut melawan hukum;
3. ‎Adanya kesalahan pihak pelaku;
4. ‎Adanya kerugian bagi korban;
5. ‎Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.


Sekian dari kami dan terimah kasih..